Jawaban(1 dari 20): Amerika Serikat hanya memiliki dua partai yang berjaya karena sistem pemilunya memilih orang, bukan memilih partai. Suara yang diterima partai bisa dibagi secara proporsional. Misalkan partai A dapat 40%, partai B 20%, sementara partai C, D, E, dan F masing-masing 10%. Kalau Sistemmultipartai tidak memiliki satu partai yang cukup kuat untuk membentuk pemerintahan sendiri sehingga membentuk koalisi dengan partai lain. Oleh karena itu, sistem multipartai mencerminkan adanya lebih dari dua partai yang dominan. Sistem multipartai pada umumnya berkembang di negara yang memiliki keanekaragaman dalam masyarakat. Penerapansistem multipartai di Indonesia tida 19. Penerapan sistem multipartai di Indonesia tidak menguntungkan karena . a. terlalu banyak partai politik yang menjadi peserta pemilu b. peluang terjadinya pertentangan antarpartai semakin terbuka c. sulit membangun partai politik yang kuat dan didukung oleh rakyat d. Indonesiaharus belajar dari Amerika? mediaurl:content-images/post/20190417/antarafoto-jelang-kampanye-terbuka-230319-apls-2-72b8e275c68d79f04620905378d5dac5.jpg:mediaurl MaklumatPemerintah yang ditandatangani Wakil Presiden Moh. Hatta tidak hanya direspon oleh kalangan Islam tapi juga kalangan nasionalis kebangsaan. Pada akhir 1945, sejumlah partai politik dalam waktu relatif berdekata terbentuk. Partai politik itu seperti, Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berdiri pada 7 November 1945. Vay Tiền Nhanh Chỉ Cần Cmnd Nợ Xấu. Keadaan kehidupan politik dan pemerintahan Indonesia pada awal kemerdekaan masih belum stabil. Akibat dikeluarkannya maklumat pemerintah 3 november 1945, di Indonesia akhirnya muncul banyak partai politik. Sistem banyak partai sangat tidak menguntungkan bagi Indonesia karena? terlalu banyak partai politik yang menjadi peserta Pemilu sulit membangun partai politik yang kuat dan didukung oleh rakyat pemerintah yang stabil tidak dapat diwujudkan peluang terjadinya pertentangan antar partai semakin terbuka Semua jawaban benar Jawaban yang benar adalah C. pemerintah yang stabil tidak dapat diwujudkan. Dilansir dari Ensiklopedia, keadaan kehidupan politik dan pemerintahan indonesia pada awal kemerdekaan masih belum stabil. akibat dikeluarkannya maklumat pemerintah 3 november 1945, di indonesia akhirnya muncul banyak partai politik. sistem banyak partai sangat tidak menguntungkan bagi indonesia karena pemerintah yang stabil tidak dapat diwujudkan. [irp] Pembahasan dan Penjelasan Menurut saya jawaban A. terlalu banyak partai politik yang menjadi peserta Pemilu adalah jawaban yang kurang tepat, karena sudah terlihat jelas antara pertanyaan dan jawaban tidak nyambung sama sekali. Menurut saya jawaban B. sulit membangun partai politik yang kuat dan didukung oleh rakyat adalah jawaban salah, karena jawaban tersebut lebih tepat kalau dipakai untuk pertanyaan lain. [irp] Menurut saya jawaban C. pemerintah yang stabil tidak dapat diwujudkan adalah jawaban yang paling benar, bisa dibuktikan dari buku bacaan dan informasi yang ada di google. Menurut saya jawaban D. peluang terjadinya pertentangan antar partai semakin terbuka adalah jawaban salah, karena jawaban tersebut sudah melenceng dari apa yang ditanyakan. [irp] Menurut saya jawaban E. Semua jawaban benar adalah jawaban salah, karena setelah saya coba cari di google, jawaban ini lebih cocok untuk pertanyaan lain. Kesimpulan Dari penjelasan dan pembahasan serta pilihan diatas, saya bisa menyimpulkan bahwa jawaban yang paling benar adalah C. pemerintah yang stabil tidak dapat diwujudkan. [irp] Jika anda masih punya pertanyaan lain atau ingin menanyakan sesuatu bisa tulis di kolom kometar dibawah. Bulan lalu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dalam sebuah Kongres luar biasa yang kontroversial di Medan, Sumatera Utara. Terpilihnya Moeldoko “mendepak” Agus Harimurti Yudhoyono, putra pertama mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono SBY - Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat. Awal bulan ini, pemerintah menolak permohonan pengesahan kepengurusan Partai Demokrat yang diajukan kubu Moeldoko. Dengan demikian Agus tetap menjadi ketua umum. Perpecahan di Partai Demokrat - walau tidak berlangsung lama - bukanlah perpecahan partai politik Indonesia yang pertama. Sebelumnya, Partai Persatuan Pembangunan PPP dan Partai Golkar juga sempat terbelah. Saya meneliti bagaimana partai-partai dan sistem partai di Indonesia mengalami perubahan sejak jatuhnya Soeharto yang disusul perubahan pada sistem pemilihan umum pemilu demokratis dan langsung. Sistem presidensial di Indonesia menciptakan dinamika politik yang sangat khas. Sistem ini mendorong terbentuknya faksi-faksi dalam partai politik berupa perpecahan yang terdorong bukan karena perbedaan ide-ide kebijakan, namun demi harta, jabatan, dan kekuasaan. Dampak sistem presidensial Secara umum, ciri sistem presidensial adalah dua sumber kekuasaan dan cara mempertahankan kekuasaan yang berbeda presiden dan parlemen sama-sama dipilih secara langsung, dan presiden hanya bisa diturunkan lewat proses pemakzulan. Selama Orde Baru, Soeharto memiliki kekuasaan yang sangat besar dan tidak diawasi; Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR hanya lembaga tertinggi negara di atas kertas. Soeharto mengendalikan Golkar - partai rezim - dan berhasil menekan Partai Demokrasi Indonesia PDI dan PPP yang ketika itu dianggap partai semi-oposisi. Setelah Orde Baru jatuh, kekuasaan perundang-undangan Dewan Perwakilan Rakyat DPR menguat sangat pesat. Meski demikian, masa-masa awal Reformasi diwarnai ketidakpastian. Penurunan Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid pada 2001 adalah akibat kemelut antara DPR, MPR, dan sang presiden yang memiliki perbedaan pandang jauh dengan parlemen tentang apa yang menjadi otoritasnya. Karena kekisruhan pasca kejatuhan Gus Dur, pemilihan presiden secara langsung untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia diadakan pada 2004. Sistem presidensial cenderung mendorong pembentukan faksi-faksi faksionalisme tersendiri, terutama berkaitan pada adanya dualisme antara presiden dan partainya. Karena presiden dipilih langsung, ia tidak bergantung pada parlemen dan partai politik layaknya seorang perdana menteri. Faksionalisme dalam sistem presidensial tentu saja bukan sekadar soal peraturan-peraturan yang mendorong organisasi atau institusi partai yang baik. Partai politik dapat terpecah jika demokrasi dalam partai tinggi, jika ekonomi politik partai tidak menguntungkan satu pihak saja, jika partai tidak terlalu terpusat, jika peraturan internal misalnya soal keanggotaan atau pemilihan ketua tidak terlalu jelas, dan seterusnya. Perpecahan internal juga tidak akan mudah menyebabkan munculnya partai-partai baru karena banyak tantangan dari luar. Di Indonesia, partai baru tidak memiliki peluang sukses yang realistis karena, misalnya, tingginya ambang batas elektoral, peraturan yang menuntut jumlah cabang yang banyak, dan tingginya biaya kampanye. Di sini, sistem presidensial telah membawa setidaknya tiga dampak. Pertama, terbentuknya partai-partai politik dengan tujuan untuk mendukung calon presiden atau calon pemegang jabatan penting lainnya. Partai Demokrat, Partai Hanura, Gerindra, dan Partai NasDem adalah contoh-contoh utama. Hal ini hanya mungkin terjadi dalam suatu sistem politik yang memungkinkan orang-orang kaya untuk membangun kendaraan-kendaraan politik dari nol. Sistem presidensial mendorong munculnya pemimpin-pemimpin karismatik yang memiliki kendaraan politik sendiri. Faksionalisme dalam partai-partai semacam ini tidak banyak terjadi jika kepemimpinan partai sangat kuat misalnya Prabowo Subianto di Gerindra. Tapi faksionalisme meningkat jika pemimpin partai - dalam kasus ini SBY di Partai Demokrat - mengizinkan adanya persaingan atau tidak mampu mencegah persaingan. Kedua, munculnya orang-orang luar seperti Presiden Joko “Jokowi” Widodo, yang sukses tanpa memiliki partai sendiri - atau paling tidak tanpa akar kuat di salah satu partai besar. Dalam situasi ini, sistem presidensial akan menciptakan dualisme antara si orang luar dan mesin partai. Ini tampak dalam ketegangan antara Jokowi dan Megawati Soekarnoputri, pemimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan PDI-P. Ketiga, selama beberapa tahun terakhir Jokowi telah menjadi presiden yang sangat kuat dan tampaknya mampu secara tidak langsung mencampuri konflik internal partai-partai lain untuk menciptakan faksi yang mendukung dia. Contohnya yang terjadi di PPP, Golkar, dan mungkin juga di Partai Demokrat. Perpecahan dalam Partai Demokrat kemarin bisa dilihat memiliki karakter campuran ketiga dampak di atas. Jokowi kiri dan Megawati Soekarnoputri. Setpres/Antara Foto Jalan keluar Partai-partai politik di Indonesia berkolusi dan membangun koalisi-koalisi besar; platform mereka tidak jauh berbeda satu sama lain. Nyaris tidak ada perbedaan antara partai sayap kiri dan sayap kanan. Partai-partai itu telah menjadi bagian suatu kartel dan telah terlibat dalam banyak kasus korupsi di tingkat nasional dan daerah. Perpecahan dalam partai terjadi sebagai bentuk faksionalisme berciri klientelisme - dengan kata lain rebutan soal uang, jabatan, dan kekuasaan. Sebaliknya, faksionalisme berbasis kebijakan - sesuatu yang jarang bahkan tidak ada di Indonesia - terjadi karena ideologi politik. Perpecahan antara kelompok-kelompok dalam partai terjadi karena perbedaan ide dan strategi politik. Indonesia membutuhkan partai-partai dengan platfrom yang jelas, yang mewakili spektrum politik sepenuhnya, dari sayap kiri hingga kanan. Untuk mendorong ini, DPR dan pemerintah perlu memulai adanya aturan ketat soal partai dan pendanaan kandidat serta pemilihan calon berdasarkan aturan mengikat dalam prosedur internal partai. Mungkin dengan itu, nantinya kelompok-kelompok internal partai tidak lagi memandang organisasi mereka sebagai alat-alat kekuasaan dan keuntungan diri. Namun, kelompok-kelompok itu bisa mulai berdebat soal isu-isu politik yang kompleks tentang keuangan, ekonomi, lingkungan dan kesehatan demi kepentingan para pemilih Indonesia. Mahasiswa/Alumni Universitas Terbuka08 Desember 2022 0336Jawaban yang benar adalah D. Multipartai merupakan suatu sistem politik yang ditandai dengan keterlibatan banyak partai. Di Indonesia sistem multipartai kurang bisa diterapkan. Hal ini bisa kita lihat saat berlangsungnya masa Demokrasi Liberal pada tahun 1950 hingga 1959. Pada waktu tersebut, kehidupan politik tidak stabil karena sering terjadi pertentangan antar partai. Sebagai akibatnya, kedudukan dan masa jabatan kabinet tidak dapat ditentukan. Jadi, jawaban yang benar adalah D. Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Partai politik sesunguhnya merupakan sebuah wadah, yang mempunyai fungsi untuk menyatukan orang-orang yang memiliki visi dan misi yang sama dalam penyelenggaraan tanggal 3 November 1945 Moh Hatta selaku Presiden pada saat itu mengeluarkan Maklumat yang mana mengharuskan adanya partai-partai politik, Isi daripada Maklumat Wakil Presiden yakni; "pertama,pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan partai-partai politik itulah yang dapat dipimipin ke jalan yang teratur segala aliran yang ada dalam masyarakat; Kedua,pemerintah berharap supaya partai politik-partai politik telah tersusun sebelum dilangsungkanya pemilihan anggota badan-badan perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946" keluarnya Maklumat ini yang selanjutnya membawa Indonesia kedalam era sebelum dikeluarkan Maklumat pada tanggal 3 November ini Maklumat yang pertama kali keluar ialah Maklumat Wakil Presiden Tahun 1945 pada tanggal 16 Oktober 1945 mengenai perubahan peran dan fungsi sebagai ganti keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat. Dan konsekuensinya kekuasaan Presiden menjadi berkurang, sistem Parlementer ini yang membuat presiden tidak lagi berkedudukan sebagai kepala pemerintahan namun hanya sebagai kepala negara. Dengan demikian mengharuskan adanya partai-partai politik, Maka dikeluarkankanlah Maklumat pada tanggal 3 November. Dari undang-undang nomor 2 tahun 1999 tentang partai politik yang menjadikan kepartaian pada era reformasi dipenuhi oleh partai yang mana lahir dengan cara mengambil isnpirasi kepartaian pada masa pasca kemerdekaan, partai yang dikonstruksi pada masa orde baru dan partai-partai yang baru tidak memiliki presiden historissebelumnya, hampir seluruhaliran ideologi dan partai yang pernah hidup pada masa sebelumnya, kecuali partai komunis hadir kembali dan berkonsentrasi dengan partai-partai baru. Dan sampai pada saat ini Indonesia masih menganut sistem multi partai yangmana telah di atur dalam pasal 6A ayat 2 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Terdapat lebih dari dua partai yang berdiri. Sedikit memaparkan Kelemahan Sistem MultiPartai yang mana telah dianut di Indonesia antara lainPemerintah tidak memiliki kestabilan karena banyaknya partai yang membuat tidak adanya sebuah partai yang mampu mendukung pemerintahan dan harus melalui koalisi, Pemerintah terkadang ragu dan banyak program yang kurang efektif, Sistem multi partai cenderung lamban dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi,Logika "lingkaran setan" karena semakin banyaknya partai politik semakin banyak pilihan, Semakin banyak pilihan, akan semakin sulit memilih, Semakin sulit memilih semakin banyak yang tidak memilih dan Semakin banyak Golput, semakin mundur arti sebuah demokrasi. Jadi Semakin Banyak Partai artinya Semakin Jelek Kualitas Demokrasi nyaMenurunkan fungsi nasionalisme terhadap negara Indonesia karena saking banyaknya partai politik yang ada, Menimbulkan persaingan tidak yang tidak sehat, Saling menjatuhkan antara partai satu dan yang lainnya. Menghambat kelancaran semua program kerja politik dalam arti tidak sehat yang melakukan money politic lobi-lobi dan memberikan uang kepada rakyat agar memilih partai tersebut. Dari sini lah sifat-sifat para pemerintah yang akan korupsi muncul. Pemerintah tidak fokus lagi terhadap rakyat, melainkan fokus bagaimana cara mempertahankan konflik Partai politik satu dengan yang lainnya tidak akan terlalu jauh, sehingga muaranya akan kearah bagi-bagi akan semakin Gemuk sebagai akibat dari banyaknya kepentingan partai yang harus diakomodir dan sulit menempatkan orang yang "benar ditempat yang benar".Biaya Politik yang sangat besar, karena adanya subsidi pemerintah kepada partai-partai. contoh ; ringanya dalam pembuatan kartu suara, kalau partainya seperti sekarang ini, kemungkinan kartu suara akan selebar Koran dibandingkan dengan sedikit partai. Dari sisi ini saja sudah memboroskan keuangan Negara. Banyaknya Uang yang di investasikan pada hal-hal yang "kurang produktiv" bagi masyarakat. contoh ringannya saja, lihat, hitung dan analisa sendiri, berapa rupiah yang dihamburkan hanya untuk membuat sticker, baliho, spanduk, bendera dan iklan politik. Dan jika dilihat keadaan politik pada saat ini partai yang tidak memenangkan suara hanya akan menjadi oposisi dalam mengkritisi partai yang menang dengan demikian akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat Demikianlah efek-efeknya yang muncul bilamana menganut sistem kepartaian letak geografisnya wilayah Indonesia, memerlukan suara satu kesatuan untuk membangun negara Indonesia untuk mensejahterakan seluruh rakyat dan kekuatan bangsaNya. Bila tidak adanya kesatuan dari negeri ini sendiri, maka pacahanya akan mempengaruhi eksistensinya di mata dunia dan khususnya dengan negara-negara tetangga. pengaruh pecahnya suara didalam negeri ini dapat dilihat dari caruk-maruknya kondisi sosial dan politikNya terlebih karena dipengaruhi Suku, Ras serta kuncinya untuk membangun keadaan politik yang kondusif dan berkualitas adalah membentuk sistem kepartaian Dui Partai yakni Dua partai yang mana jika Salah satu partai menang sebagai Presiden & Wakil Presiden dan Partai yang kalah bisa menduduki kursi-kursi sebagai menteri dengan demikian keadilan akan terwujud di negara Indonesia. Lihat Politik Selengkapnya SISTEM kepartaian di Tanah Air dinilai mulai menunjukan gejala yang stabil pascareformasi. Hal itu terindikasi dari volatilitas pemilu ke pemilu terus menurun. Pemilih mulai ajeg dengan partai-partai yang ada dan partai baru pun cenderung tak laku. "Sistem kepartaian di Indonesia mengalami stabilisasi saat ini. Indikatornya volatilitas pemilu. Dari 1999 sampai dengan 2019 volatilitas pemilu kita menurun tajam," kata dosen ilmu politik Universitas Paramadina Djayadi Hanan dalam diskusi daring yang digelar Populi Center, Kamis 25/11. Menurut Djayadi, volatilitas pemilu atau perpindahan suara pemilih dari satu partai ke partai lain dan dari pemilu ke pemilu terus turun. Menurut hitungannya menggunakan Indeks Pedersen, volatilitas pemilu pada 1999 ke 2004 sebesar 25,3%, kemudian dari 2004 ke 2009 sebesar 29,5%. Jumlah itu terus menurun dari 2009 ke 2014 menjadi 19,9%. Pada pemilu 2014 ke pemilu 2019, volatilitasnya merosot menjadi 12,7%. "Penurunan volatilitas pemilu menunjukkan adanya gejala stabilisasi sistem kepartaian. Artinya orang yang sama cenderung memilih partai yang sama dari pemilu ke pemilu lain. Ada kecenderungan seperti itu," ujarnya. Djayadi mengatakan indikator lain ialah jumlah partai yang efektif effective number of parlamentary parties/ENPP. Menurutnya, partai di parlemen saat ini sembilan parpol secara efektif berdasarkan ENPP jumlahnya tidak sebanyak itu karena dari perbedaan kekuatan. Ia mengatakan ENPP di Indonesia sejak 2004 sampai 2009 hanya berkisar enam sampai delapan partai. "Jadi sebenarnya real number political parties yang kita miliki di Indonesia itu antara enam sampai delapan," ucapnya. Baca juga Gus Choi Nahdlatul Ulama Tak Boleh Jadi Kuda Troya Partai Politik Indikator berikutnya, menurut Djayadi, partai baru semakin tak populer. Jumlah pemilih yang menjatuhkan hati kepada partai baru semakin sedikit dari pemilu ke pemilu. Pada 2004, ada 12,3% pemilih yang memilih partai baru. Jumlah itu menurun pada 2009 sebanyak 17,3% dan pada 2014 6,7%. Pemilih partai baru pada pemilu 2019 semakin merosot hanya 7,2%. "Artinya masyarakat kita tidak tertarik dengan partai-partai baru. Pilihannya cenderung sudah stabil ke partai-partai yang sudah ada. Tentu perlu digali lebih dalam apa penyebabnya," ujarnya. Meski ada gejala stabilisasi kepartaian, Djayadi menyoroti di saat yang sama anehnya kedekatan pemilih dengan partai party identification juga rendah. Padahal, lanjut Djayadi, rendahnya kedekatan itu bisa menunjukan kepartaian yang tidak stabil. "Kita tahu semua party identification rendah itu menunjukkan kepartaian tidak stabil. Kemungkinan sistem kepartaiannya tidak berakar tapi stabil," ucapnya. Sementara itu, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti mendorong penyederhanaan sistem multipartai yang saat ini berlaku. Menurutnya, kondisi itu membuat koalisi terlalu besar sehingga sistem presidensial belum begitu efektif. Dia menyarankan multipartai disederhanakan paling banyak lima atau enam partai sehingga ketika pemilu hanya ada dua koalisi. "Saat ini sisa partai yang di luar pemerintahan itu tidak kedengaran suaranya dan itu salah satu faktor yang menyebabkan pemerintahan presidensial kita belum efektif sepenuhnya. Karena dalam pembuatan kebijakan itu harus mencerminkan kehendak rakyat tidak hanya yang memilih presiden tapi juga oposisi," ujarnya. OL-7

sistem banyak partai sangat tidak menguntungkan bagi indonesia karena